Minggu, 25 November 2007

Modesty

Dalam perjalanan pulang dari Jakarta kemarin, di kereta gw dapet temen duduk seorang bapak tua. Beliau pemilik usaha kecil yang membuat mesin-mesin, biasanya untuk kebutuhan industri makanan. Sepanjang jalan, bapak itu bercerita tentang perjalanan karirnya hingga saat ini, serta suka duka jadi pengusaha mesin pabrik.

Di satu titik, beliau ngebandingin beberapa pelanggannya. Pelanggan favoritnya adalah seorang juragan makanan asal Sumatra. Pengusaha ini adalah orang yang menghargai pengusaha kecil seperti temen duduk gw. Ga banyak nawar, transfer uang lancar, kalo ngundang ke pabrik servisnya memuaskan, pokonya orangnya 'ngerti'. Sementara pelanggan lain dari Jawa, udah nawarnya kebangetan, transfer uang dikit2, ngundang ke pabrik boro2 servis, uang makan aja ga ada, alias 'ga ngerti'.

Berkali-kali bapak temen duduk gw ini mengeluhkan perlakuan dari pelanggan2nya yang 'semena-mena', 'ga ngerti' ama pengusaha kecil kaya beliau. Dan akhirnya, setelah proyek selesai, beliau meninggalkan pelanggannya yang 'semena-mena' itu tanpa sepatah kata.

Yang gw heran, adalah kenyataan bahwa bapak ini ga pernah ngasi pendapatnya, ngeluarin uneg2 akibat perlakuan 'semena-mena' dari pelanggan2 yang 'ga ngerti'. Beliau pengen para pelanggannya yang lain bersikap seperti pelanggan favoritnya, memperlakukannya dengan 'pantas'. Minta dimengerti, tapi ga pernah ngasi tau caranya. Tiap diperlakukan 'semena-mena' cuman diem aja, tapi tiba2 memutuskan hubungan bisnis tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Gw kira, ini akibat dari budaya yang mengajarkan bahwa menuntut, terutama pada majikan, adalah menyalahi sopan santun. Dalam hal ini, bapak temen duduk gw memposisikan dirinya sebagai orang kecil, yang perannya lebih banyak ditindas, tapi tidak dapat melakukan banyak hal untuk keluar dari penindasan karena menuntut hak adalah tidak pada tempatnya. Bahkan untuk biaya pun, dia menyerahkan pada pelanggan untuk menentukan besar keuntungan. "Terserah bapak aja". Kalo gede, sumringah. Giliran mepet, mukanya ikutan sepet. Jadi akhirnya, yang bisa dilakukan hanya memberi penilaian dan mengkritik orang. Ini rendah hati opo rendah diri ?

Well, kalo menurut gw, selama enjoy diperlakukan gitu ya monggo wae. Tapi daripada darah tinggi, pecah, stroke, lalu ko-it, ga ada salahnya buat ngeluarin pendapat n uneg2 ke orang yang bersangkutan. Toh, masi sama2 doyan nasi. Kecuali kalo bikin kesepakatan bisnis ama kanibal. Yaa.. itu tinggal pinter2an ga nyinggung aja.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hmm, kasus yang biasa. Menurutku semua balik lagi ke cara orang dulu dibesarkan dan budaya2 apa yang dulu ada tapi udah mulai memudar.

Itu kenyataan pahit Ren.